Strategi Nasional Indonesia

Forum Diskusi Strategi Nasional Indonesia

Menyeimbangkan Pendidikan Komersiil dengan e-Learning/e-Education

Posted by sroestam pada 23 Februari 2008

Komersialisasi pendidikan sebagaimana diuraikan oleh Pak Widodo Dwi Putro, Peneliti LP3ES di harian Kompas, akan menimbulkan makin besarnya kesenjangan sosial Kelompok orang-orang Kaya dan Kelompok Rakyat Miskin, serta pelestarian Kelompok orang-orang kaya, serta mengubur kemungkinan proses migrasi vertikal kelas bawah ke kelas diatasnya. Ini menentang Cita-cita Nasional Pendirian Republik Indonesia yang ingin membuat negeri ini menjadi negeri yang aman, makmur, adil, sejahtera, gemah ripah loh jinawi, bagi seluruh rakyatnya, dan upaya untuk menghilangkan atau mengurangi kesenjangan sosial diantara masyarakatnya.

Pendidikan yang baik memang memerlukan dana yang besar, dan kami pribadi tidak menentang kenyataan ini. Tetapi komersialisasi Pendidikan tanpa adanya alternatif lain untuk mengimbanginya akan menyebabkan orang berlomba2 untuk memperoleh pendidikan di Universitas atau Sekolah yang terkenal, baik di DN maupun di LN. Ujung-ujungnya bagi kelompok kaya, ada yang mencari jalan pintas agar dapat gelar S2 dan S3 dari Universitas/Sekolah begengsi dengan mengucurkan dana yang besar agar mendapatkan kemudahan-kemudahan.

Oleh karena itu, kita semua sebagai warga Negara Republik Indonesia yang mencintai negeri ini agar bisa mencapai cita-cita yang kita inginkan sesuai piagam pendirian Republik ini perlu mencari jalan alternatif pendidikan lain yang terjangkau masyarakat Indonesia yang kurang mampu.

Mengingat saat ini Indonesia telah berhasil mengembangkan jaringan Akses Internet Berpita Lebar (Broadband Internet Network) yang cukup luas jangkauannya, maka kami ingin mengusulkan agar Pemerintah/Masyarakat/Swasta untuk mengembangkan suatu alternatif pendidikan melalui jaringan ini, yang biasa disebut sebagai e-Learning/e-Education, Pendidikan secara Online.

Materi untuk pendidiak atau Kontent untuk pendidikan ini sudah banyak tersedia dari berbagai sumber Universitas-universitas besar di LN, seperti dari Massachusets Institute of Technology (MIT) Open Course Ware yang sudah tersedia secara gratis sebanyak 1800 subyek pendidikan, dan dari yang lainnya. Dari Indonesia juga sudah ada tersedia antara lain di Web http://ilmukomputer.com, dan lainnya lagi, seperti dari Perpustakaan Online Dr. Onno W. Purbo.

Agar hal ini dapat terjadi, maka perlu ada kesepakatan bersama diantara kita, dan yang lebih penting adanya Akreditasi dari DEPDIKNAS, bahwa pendidikan online ini, asalkan diselenggarakan secara baik dan teratur sesuai persyaratan yang ditentukan DEPDIKNAS, maka para lulusannya berhak menyandang gelar pendidikan yang setara dengan Pendidikan yang Komersiil tersebut diatas. Bila perlu, ujian kenaikan kelas atau tingkat dan ujian akhir dilakukan bersamaan dengan ujian di berbagai Sekolah2 atau Universitas2 yang begengsi, untuk menghindari tuduhan bahwa produk Sekolah/Universitas Online ini tidak bermutu. Para siswa/mahasiswa sekolah/Universitas Online ini dipersaingkan dengan para Siswa/Mahasiswa sekolah/univesitas komersiil bergengsi tersebut.

Lalu bagaimanakah para siswa/mahasiswa sekolah/universtas Online itu? Ada berbagai cara:

1. Di tempat-tempat umum yang dibangun khusus untuk Akses Gratis Internet untuk siswa/mahasiswa oleh Pemerinah (Depdiknas), Swasta, atau Lembaga Non-Profit, seperti di Perpustakaan Umum, Hot Spots WiFi di Mall, Cafe, Warnet, Taman, dsb. Untuk yang akses gratisan, maka di layar PC atau Laptop diperbolehkan dipasang iklan produk atau jasa sebagai imbalannya.

2. Bila siswa/mahasiswa sudah memiliki PC atau Laptop, baik milik sendiri atau fasilitas perusahaan tempatnya bekerja, maka mereka dapat melakukan akses ke materi-materi atau kuliah pendidikan yang dipilihnya, gratis atau berbayar murah.

3. Untuk materi pendidikan atau kuliah, dibuat di DN atau dari terjemahan dari Open Course Ware (OCW) produk berbagai Univesitas atau sekolah di LN, dan agar didapat secara gratis.

4. Pemerintah melaui DEPDIKNAS agar memberikan subsidi kepada Penyelenggara Pendidikan Online ini dari sebagian dana APBN untuk pendidikan yang Rp 49 Trilyun tersebut. Subsidi atau Kontribusi dana ini dapat pula diberikan oleh perusahaan-perusahaan Swasta, Operator-operator Telekomunikasi, dll, sebagai kewajiban Community Social Responsibility (CSR).

5. Untuk menghemat biaya Akses Internet, di lokasi-lokasi Pendidikan tersebut diatas juga disediakan Akses Offline, dengan menyimpan data-data Course Ware tertentu yang sangat populer, di Harddisk PC/Laptop, atau Pusat Server Jaringan LAN.

6. Diadakan kerjasama khusus antara Organisasi Warnet dengan Organisasi Penyelenggara Online Education/Learning ini.

e-Education/e-Learning vs Pendidikan Komersiil ini analogi-nya adalah Open Source Software/Free OSS vs Software Proprietary, dimana keduanya tetap exist untuk menjadi pilihan masyarakat.

Mohon kiranya dapat diberikan tanggapan, saran atau kritik, sehingga dapat dibuat sebuah kesimpulan untuk dilaksanakan bersama.
Semoga bemanfaat bagi kemajuan bangsa dan negara.

Wassalam,
S Roestam
———————

Komersialisasi Pendidikan: Widodo Dwi Putro

[kompas] SEJUMLAH perguruan tinggi negeri (PTN) besar berlomba membuka
“jalur khusus” penerimaan mahasiswa baru dengan memasang tarif Rp 15
juta sampai Rp 150 juta. Berbagai langkah PTN itu ditempuh menyusul
kebijakan dijadikannya kampus sebagai Badan Hukum Milik Negara, yang
tidak lagi mendapat subsidi melainkan diharuskan mencari dana sendiri
(Kompas, 16 Juni 2003).

KETIKA komersialisasi pendidikan itu mendapat kritik, Mendiknas Abdul
Malik Fadjar menanggapi sebagai berikut, “Yang penting itu terbuka,
transparan, dan akuntabilitasnya terjamin. Itu saja” (Kompas, 17
Juni2003). Hanya atas alasan demikiankah lalu bisnis pendidikan
seolah-olah menjadi suatu yang rasional, produktif, efisien, wajar,
dan manusiawi. Apa benar boleh dijalankan, asal dilakukan secara
transparan?

Dalam ideologi mana pun, liberal atau sosialis, negara diharuskan
menyediakan pendidikan untuk rakyatnya. Dalam sistem sosialis, rakyat
memperoleh pendidikan tanpa biaya. Kendati demikian, dalam sistem
sosialis (terutama yang totaliter) negara sering mendapat kritik
karena ia (negara) selalu campur tangan dalam banyak hal, yakni mulai
dari kurikulum hingga buku yang boleh dibaca atau tidak.

Sedangkan dalam sistem liberal, peran pemerintah sangat kecil dan
pendidikan dikelola secara profesional oleh swasta. Implikasinya,
pendidikan menjadi komoditas bisnis sehingga hanya anak orang kaya
saja yang dapat mereguk pendidikan yang berkualitas. Lalu pendidikan
Indonesia berada dalam sistem yang mana?

Orangtua siswa yang hidup pada zaman Orde Lama akan teringat bagaimana
ketika bersekolah dulu tanpa biaya. Bahkan mereka diberi alat tulis
menulis gratis. Pada masa Orde Baru keadaan mulai berubah. Negara
memang tetap menyubsidi pendidikan, tetapi biaya untuk sekolah mulai
mahal terutama sekolah-sekolah swasta.

Meskipun demikian, sulit untuk mengatakan bahwa pada masa Orde Baru
sistem pendidikan telah bergeser ke liberal. Walaupun pendidikan sudah
menjadi komoditas, tetapi negara kerap kali turut campur mulai dari
indoktrinasi (misalnya, penataran P4), kurikulum hingga pelarangan
mempelajari ilmu pengetahuan yang dianggap membahayakan stabilitas.

Pada masa sekarang, negara meningkatkan subsidi pendidikan hingga 20
persen dari APBN. Namun setelah Indonesia memasuki pusaran neoliberal,
subsidi sebesar itu tidak signifikan, apalagi diperparah oleh korupsi
yang terbendung. Pada fase neoliberal, peran negara mulai dilucuti dan
digantikan dengan kedaulatan pasar.

Termasuk dalam sektor pendidikan, negara melakukan deregulasi atau
lebih dikenal dengan nama otonomi pendidikan. Kebijakan otonomi
pendidikan ini menyebabkan sejumlah perguruan tinggi harus mencari
dana sendiri, terutama dengan jalan bisnis atau istilahnya World Trade
Organization (WTO) sebagai commercial service.

KONSEKUENSI memilih sistem neoliberal adalah pendidikan menjadi ajang
bisnis. Dapat kita saksikan bagaimana belalai komersialisasi
pendidikan tidak hanya meluas pada perguruan tinggi, tetapi sudah
membelit hingga sekolah dasar dan menengah. Ada sekolah, mulai SD
hingga SMU di Jakarta, Semarang, dan Yogyakarta, yang uang sekolahnya
mencapai Rp 3 juta per bulan.

Sekolah-sekolah super elite itu ber-AC dan menawarkan berbagai program
memikat di antaranya pelajaran ekstra kurikuler out born, belajar
berkuda, dan belajar tata pergaulan internasional. Banyak orangtua
kaya yang memasukkan anak mereka ke sekolah mewah ini karena berharap
masa depan anaknya gemilang.

Barangkali kita bisa menyimak pendapat seorang pengusaha yang
menjadikan Jakarta, Singapura, Hongkong, Taiwan, Eropa, dan AS sebagai
lahan bisnisnya ketika berbicara tentang pendidikan anaknya sebagai
berikut, “Cuma anak tertua, perempuan, yang saya sekolahkan sampai
universitas terkenal di Indonesia.

Sesudah itu saya sekolahkan MBA ke Amerika. Dua adiknya, begitu tamat
SD langsung saya kirim ke Selandia Baru dan Australia untuk SMP dan
SMA-nya. Kini keduanya juga di Amerika. Mengapa begitu? Mereka akan
mewarisi bisnis saya. Memang basis bisnis mereka adalah Indonesia.
Tetapi di abad ke-21 ini bergerak begitu cepat, banyak hal yang harus
dipelajari” (Kompas, 24 Juni 2002).

Argumentasi dalam kliping itu memang tidak dapat mewakili responden
atau informan yang lain. Tetapi paling tidak, kita dapat mengetahui
secuil motif mengapa para orangtua rela mengeluarkan uangnya untuk
biaya pendidikan yang begitu mahal? Melalui pendidikan yang mahal dan
berkualitas, mereka ingin melestarikan posisi kelasnya hingga pada
keturunan berikutnya.

Dengan kata lain, bisnis pendidikan semacam ini adalah sarana
pelestarian kelas, sekaligus mengubur impian mobilitas vertikal kelas
bawah untuk memperbaiki status kelasnya. Analisis ini kedengarannya
radikal, tetapi kita tidak bisa menghindari karena pembacaan
realitasnya memang demikian. Bahwa dapat dipastikan hanya strata
sosial tertentu yang dapat menikmati sekolah atau universitas yang
bermutu. Sedangkan anak-anak orang miskin tetap dalam posisi
tertinggal dan masuk dalam lingkaran calon pengangguran, atau kalaupun
bekerja melanjutkan profesi orangtuanya sebagai penjual bakso, tukang
becak, buruh, petani gurem, dan sebagainya.

Pierre Bourdieu dalam The State Nobility dan Homo Academicus
mempersoalkan hal yang kurang lebih sama. Menurut Bourdieu,
orang-orang tidak hanya menginvestasikan uangnya dalam bentuk saham,
tetapi juga dalam bentuk symbolic capital (kapital yang bersifat
simbolik). Penelitian Bourdieu pada suku barbar di Aljazair dan
masyarakat modern Perancis dapat menjelaskan tentang symbolic capital.

Di Aljazair, masyarakat barbar tidak mempunyai modal produksi, maka
jumlah ternak menjadi ukuran status dalam hubungan-hubungan sosial.
Namun sebaliknya di Perancis, symbolic capital lebih penting, sehingga
kenapa para aristokrat di sana mengarahkan secara ketat anaknya harus
sekolah di tempat yang bermutu dan ternama, serta mendapat gelar dari
sekolah tersebut. Tentu, investasi berupa symbolic capital itu untuk
melanggengkan aristokrasi yang sangat penting dalam relasi sosial.

Dari hasil temuan filsuf Perancis ini kita dapat memahami mengapa ada
orang harus menginvestasikan uangnya dalam jumlah begitu besar hanya
sekadar mendapat gelar akademis. Mereka sadar akan pentingnya gelar S2
atau doktor, apalagi dari universitas terkenal. Selain gelar
pendidikan itu mendudukkan orang-orang pada posisi terhormat, juga
mempermudah laju masa depannya.

Komersialisasi pendidikan memang bermata ganda, di samping
mereproduksi pelestarian kelas dominan, juga mencampakkan ilmu
pengetahuan sebagai alat memanusiakan manusia ke lembah “pelacuran
intelektual” (istilahnya, J Benda). Bukankah pendidikan yang lebih
terkonsentrasi pada laba adalah getting things done daripada mengatasi
penderitaan manusia dan menolong sesama?

KENDATI komersialisasi pendidikan mempunyai basis pendukung yang luas,
bukan berarti ia hadir tanpa perlawanan. Ivan Illich, misalnya,
menyerukan kepada masyarakat dunia untuk melakukan deschooling
society. Demikian pula, Romo Mangunwijaya semasa hidupnya pernah
membuat pendidikan alternatif.

Dan hingga sekarang, di kota kecil Pekalongan pun tumbuh pendidikan
alternatif dengan nama “Sekolah Sadar Sosial”. Walau pada akhirnya,
suara alternatif itu tenggelam ditelan oleh hingar-bingarnya
komersialisasi pendidikan yang menjanjikan masa depan. “Kunang- kunang
tetap berkedip walau malam semakin larut,” hibur seorang ideolog muda
dari Yogyakarta.

Widodo Dwi PutroPeneliti LP3ES Jakarta

5 Tanggapan to “Menyeimbangkan Pendidikan Komersiil dengan e-Learning/e-Education”

  1. gatothp2000 said

    saya kira kita perlu bersama-sama dgn masarakat mendorong pendidikan yg terjangkau, spt yg sedang dikembangkan oleh diknas bersama konsorsium 70 uni, utk jurusan it…tetapi utk jurusan lainnya juga sedang di fikirkan dan di kembangkan utk guru serta siapapun yg perlu upgrade kompetensinya…
    siapa yg mikirin masarakat ini…bukan bangsa lain, tetapi bangsa kita semuanya….

  2. sroestam said

    Bapak Gatot HP Yth,

    Terimakasih atas tanggapannya.
    Pendidikan terjangkau yang bapak kembangkan bersama 70 Universitas tersebut sangat kami dukung. Mohon info rincian lengkap Universitas-universitas mana saja yang telah menjalin kerjasama tersebut.

    Kami juga baru saja menerima tawaran kawan-kawan dari Kelompok Open Source (linux-aktivis@yahoogroups.com) yang ingin membuatkan Software untuk e-Learning/e-Education di Server Web. Dari kami sendiri akan menyediakan Server dan Bandwidth-nya.

    Sedang kami ujicoba di http://www.masif.com

    Saran kami, Kelompok 70-Universitas dan Kelompok Open Source mengadakan Pertemuan Koordinasi untuk penyediaan Materi Kuliah di Web Server Internet, sehingga bisa dikurangi duplikasi materi kuliah untuk efisiensi.

    Soal lokasi ujian tiap tingkat dan ujian akhir dapat dilakukan di lokasi2 Universitas masing-masing.

    Tentang biaya akses Internet, kami akan negosiasikan bersama para Operator Telekomunikasi dan ISP, supaya ada keringanan bagi para mahasiswa dan pelajar.

    Wassalam,
    Sumitro Roestam

  3. M.nasir said

    Pak Roestam yth,
    Pendidikan murah, kompeten, sertifikasi dan sesuai, itu idaman setiap anak bangsa di negeri ini, kami membantu pak gatot,hp menginisiasi program yg disampaikan beliau dengan pola PJJ TKJ , awalnya saya di jawa barat dan berkembang sangat pesat baik dari segi jumlah, kualitas pertinya, dosen, dan kualitas mahasiswanya.

    waktu berjalan, saat ini kami di manokwari, papua barat, terlihat dengan jelas perbedaan kualitas dan kasta pendidikan antara di jawa barat dan di papua barat, ada banyak hal yang menyebabkan itu terjadi tapi dengan adanya kemauan seperti ini mungkin kita akan merubah sedikit paradigma pendidikan di prov ini yg mulai dari pendidikan berbasis kampung ke pendidikan yang maju memanfaatkan teknologi It khusus di kota-kota kab/madya di papua barat, akses internet sudah bukan kendala utama kami jardiknas sudah masuk, tahun ini manokwari akan ada hotspot di 2 titik yaitu sekitar kabupaten (daerah Sanggeng) dan sekitar dinas provinsi (daerah kota) harapannya ini juga terjadi di papua barat perubahan2 dan pola2 PJJ model distance learning.

    semoa wacana ini segera terwujud, tapi menurut kami kendala utamanya adalah pada :
    – pengakuan legalitas formal ditingkat Depdiknas yg masih menganut pola UN,UAS Dll
    – Pengukuran kemampuan yg berkaitan dgn skill
    – Sistem cerddas untuk mengetahui login aksess terhadap kebenaran peserta didik.

    masih banyak tapi kami salut perhatian bapak terhadap dunia pendidikan

    m.nasir
    Manokwari
    Papua Barat

  4. sroestam said

    Bapak M. Nasir Yth,

    Terimakasih atas informasinya dari Papua Barat.
    Saya sependapat dengan Bapak, bahwa DEPDIKNAS harussegera merubah kebijakannya tentang Pengakuan Legalitas e-Learning, agar bisa disamakan dengan pendidikan Face-to-Face dengan Dosen Pengajar.

    Saran saya, e-Learning ini adalah sebagai Afiliasi dari Universitas yang ternama, dan ujian-ujiannya dilakukan bersamaan dengan ujian para mahasiswa reguler, sehingga dapat dihindarkan persepsi kalau yang e-Learning itu lebih rendah mutunya dari pendidikan yang reguler.

    Awal minggu ini saya bertemu dengan pak Bambang dari DIKNAS dan pak Cahyana – Dirjen APTEL DEPKOMINFO yang sedang menkoordinasikan pemanfaatan software pendidikan.

    Saya akan upayakan agar masalah Legalitas e-Learning ini dapat dituntaskan, sebagai kunci keberhasilan e-Learning di Indonesia.

    Prinsipnya, kalau diselenggarakan secara professional, seharusnya bisa disamakan dengan pendidikan secara face-to-face yang reguler.

    Wassalam,
    S Roestam

  5. kukuh budiharso said

    bagus artikelnya…. salam kenal http://budiharso.wordpress.com

Tinggalkan Balasan ke M.nasir Batalkan balasan